Menyelamatkan Kegagalan dengan Menjemputnya
Tak ada yang suka menunggu, pun kegagalan. Ia menunggu upaya-upaya kita yang dilakukan secara perlahan untuk mencapainya. Pada akhirnya, kita kecewa karena bertemu dengan kegagalan setelah menempuh jalan yang panjang, penuh dengan keringat dan air mata. Namun, jika dipikir-pikir lagi, kegagalan sebenarnya tidak seburuk itu. Ia adalah guru terbaik dalam hidup yang selalu kita benci. Seperti kita yang tak pernah berterima kasih pada setan yang bertugas menggoda kita agar memiliki ambisi duniawi, kita pun lazimnya tak berterima kasih pada kegagalan yang membentuk diri kita hingga hari ini.
Saya pun cukup familier dengan kegagalan. Baru-baru ini, saya dan teman-teman membuat sebuah badan usaha, dan kita mesti menelan pil pahit bahwa kita tak bisa melanjutkannya hingga akhirnya saya berada di sini, menulis esai ini. Bahkan ketika saya menulis, saya tengah berada dalam kegagalan. Seharusnya saya dapat menyelesaikan tesis saya di semester ini, tetapi itu tak terjadi. Saya dapat mengutarakan berbagai macam alasan yang mendukung terjadinya kegagalan-kegagalan dalam hidup saya. Namun, tetap saja itu hanyalah alasan untuk membuat diri saya merasa lebih baik. Meskipun begitu, saya merasa bahagia sekarang.
Mungkin, saya justru mendapat pencerahan ketika kegagalan datang bertubi-tubi. Pil pahit yang kita sebut sebagai kegagalan ternyata memang mempunyai efikasi sebagai obat yang mujarab jika ditelan secara rutin. Lucunya, saat kita berobat ke dokter, kita mendapatkan diagnosis terlebih dahulu dan mengetahui apa penyakit yang kita miliki. Sedangkan untuk kegagalan, kita mendapatkan obat terlebih dahulu dan kita sendiri yang harus mencari tahu penyakit apa yang kita miliki.
Setelah melewati berbagai kegagalan, saya percaya, jika dunia tidak dapat diubah, kita dapat lebih mudah mengubah persepsi akan hal-hal, termasuk kegagalan.Layaknya seorang ilmuwan, mereka tak pernah menyebut kata gagal untuk percobaan dan penelitian yang tidak mendapatkan hasil yang diinginkan. Alih-alih menyebutnya gagal, mereka menemukan cara untuk tidak berhasil. Layaknya sebuah perang, seorang panglima seharusnya tau kapan menerima kekalahan untuk menghindari lebih banyak korban jiwa. Keputusan itu diambil karena sejatinya ada hal yang lebih penting dari kemenangan atau kesuksesan, yaitu hidup. Begitupun yang terjadi dengan upaya-upaya kita yang menemui kegagalan, yakni jika mengaku gagal lebih dini dapat menyelamatkan hidup, mungkin lebih baik kita menjemput kegagalan, saat itu juga.
Saya teringat akan sebuah film berjudul About Time (2013). Dalam film tersebut, setiap pria dalam keluarga karakter utama memiliki kemampuan untuk kembali ke masa lalu ketika mereka dewasa. Seperti impian semua orang, si karakter utama menggunakan kemampuannya untuk melakukan banyak hal dan menanggulangi kegagalan-kegagalan dalam hidupnya. Setelah menikah dan anak pertamanya lahir, ia menyadari bahwa ia tidak bisa sembarangan kembali ke masa lalu dan melewati kelahiran anaknya karena perubahan kecil pun akan memengaruhi anak yang lahir. Setelah itu, ia mengikuti nasihat ayahnya, yaitu menjelajahi waktu hanya untuk satu hari ke belakang dan mencoba menjalani hari dengan mengeluh serta bersuka hati pada hari yang sama. Ia menemukan bahwa hari yang sama akan begitu berbeda jika menjalankannya dengan suka hati. Pada akhirnya, ia tak pernah lagi menggunakan kemampuannya. Berikut sebuah kutipan yang sangat mengena bagi saya:
The truth is, I now don’t travel back at all. Not even for the day. I just try to live every day as if I’ve deliberately come back to this one day to enjoy it as if it was the full final day of my extraordinary, ordinary life … We’re all travelling through time together every day of our lives. All we can do is do our best to relish this remarkable ride.
Dalam Mitos Sisifus (1942), Camus memaparkan absurditas hidup di bagian akhir esainya melalui kisah Sisifus yang dikutuk oleh dewa untuk mengerjakan hal yang sama selama-lamanya. Dalam kisah tersebut, Sisifus mendorong batu karang ke puncak gunung hanya untuk mendapati bahwa batu itu bergulir kembali ke lembah. Setelahnya, ia akan memulai mendorong batu tersebut lagi menuju puncak gunung. Setiap harinya, ia mengulangi pekerjaan tersebut. Kita tahu bahwa itu adalah pekerjaan yang membutuhkan ketekunan dan kerja keras sehingga kita dapat berempati: hidup Sisifus sangatlah menderita dengan kutukan tersebut. Namun, seperti kesimpulan esai yang dikatakan Camus, kisahnya terasa jauh berbeda jika kita membayangkan bahwa sebenarnya Sisifus bahagia. Bagaimana jika Sisifus memiliki hobi untuk pengembangan diri melalui mendorong batu?
Kembali pada kegagalan, jika kita lihat kembali bahkan ada profesi yang mengharuskan manusia untuk gagal seperti seorang motivator. Orang tak lagi harus gagal untuk belajar karena banyak sekali pengalaman orang lain di luar sana. Namun, sebagaimana kita ketahui akan sifat manusia yang keras kepala, kegagalan akan memiliki dampak saat dirasakan sendiri.
Meskipun begitu, tak seharusnya kita memandang kegagalan sebagai sesuatu yang selalu buruk. Kegagalan hadir sebagai pengingat karena ketika kita mampu mendefinisikan kegagalan berarti kita tahu apa itu kesuksesan. Ia hadir sebagai rambu dalam hidup, tentang apa yang mesti kita hindari dan apa yang mesti kita pelajari. Walaupun gagal, yang terpenting adalah, apakah kamu bahagia?
Penulis: Riki Rinaldi
Bacaan Lebih Lanjut:
Camus, Albert. 1999. Mitos Sisifus. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Curtis, Richard. 2013. About Time [Film]. Universal Picture.